Tuesday, December 6, 2011

Martin Hutabarat Pilih Jalan Sunyi di Tengah 'Cow Boy' Senayan

Martin Hutabarat
Pilih Jalan Sunyi di Tengah 'Cow Boy' Senayan
Headline
Martin Hutabarat - IST
Oleh: R Ferdian Andi R
Selasa, 6 Desember 2011 | 00:46 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)Martin Hutabarat termasuk yang nyeleneh di antara anggota Komisi Hukum DPR RI. Suaranya tak jarang berbeda dengan anggota yang lain. Bagaimana sebenarnya sosok Martin Hutabarat?
Politikus dua zaman layak melekat pada diri politikus asal Pematang Siantar ini. Dia dulu pernah menjadi anggota DPR era Orde Baru dari Golongan Karya (Golkar) hasil Pemilu 1987 atau bersamaan dengan Megawati Soekarnoputri dan Taufik Kiemas. Kini, pasca reformasi, Martin berlabuh di partai yang dibidani Prabowo Subianto.
Saat menceritakan kiprahnya di parlemen era Orde Baru, mata Martin menerawang jauh ke belakang, mengingat masa-masa sulitnya bersuara kritis. "Dulu menjadi masa-masa sulit. Saya, oleh media saat itu, disebut sebagai vokalis parlemen," kenangnya kepada INILAH.COM di gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12/2011).
Ayah tiga anak ini mengungkapkan, saat itu kebebasan berpendapat dan berbicara menjadi barang langka. Dia membandingkan keadaan masa lalu dengan masa kini. "Kini, posisi DPR begitu luar biasa kuatnya. Apapun yang kita lakukan diliput media," terang Martin.
Martin Hutabarat bisa disebut sebagai politisi senior di parlemen. Tutur katanya terukur dalam menyampaikan pendapatnya baik saat menghadapi mitra kerjanya maupun dengan media. Jika dibandingkan dengan anggota Komisi Hukum lainnya, penampilan Martin jelas berbeda.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini tidak menampik bila dirinya berbeda dengan kebanyakan rekannya di Komisi Hukum DPR. "Sudah luar biasa kepercayaan menjadi anggota DPR, jangan sampai mengkhianati kepercayaan rakyat dengan kebebasan yang begitu luar biasa. Betapa sulitnya untuk bicara," katanya.
Meski demikian, Martin enggan disebut bila dirinya berseberangan dengan anggota Komisi Hukum lainnya. Dia menyebutkan sebenarnya dia tidak berbeda dengan lainnya. "Saya tidak merasa berbeda, tapi saya melengkapi terhadap keberagaman berpikir dan bersikap. Karena keberagaman itu yang membuat kita menjadi lebih baik," kelit pria kelahiran 26 November 1951 ini.
Salah satu contoh yang menonjol dari sikap Martin yang berbeda dengan koleganya terkait pemilihan Ketua KPK yang memilih Abraham Samad. Dia mengaku heran mengapa Abraham terpilih. Padahal, menurut Martin suara Abraham sama dengan Bambang saat pemillihan Capim KPK. "Saya merasa heran, mengapa bedanya luar biasa antara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto," katanya.
Dia menilai, kemenangan Abraham Samad yang juga berarti kekalahan Bambang Widjojanto, menunjukkan ketakutan fraksi-fraksi di Komisi Hukum DPR kepada figur Bambang. "Yang pasti, saya melihat ada ketakutan oleh seluruh fraksi kepada Bambang," ujar Martin.
Namun Martin segan bila disebut berbeda dengan rekan koleganya dalam merespon suatu masalah. Dia meyakini, sejatinya antara dirinya dengan koleganya di Komisi Hukum memiliki kesamaan. "Sebenarnya kawan-kawan Komisi III saya kira sama maksudnya dengan saya, cuma mengutarakannya saja berbeda," kelit Martin.
Suara Martin kerap kritis dan berbeda dengan rekan-rekannya di Komisi Hukum itu tidak terlepas dari prinsip hidupnya yang selalu berusaha berbuat baik. "Walau sekecil apapun, usahakanlah berbuat untuk orang banyak," terang Martin.
Ibarat di keramaian Komisi Hukum yang diisi para cow boy Senayan, Martin memilih jalan sunyi. Semuanya dilandasi atas kecintaannya pada sistem demokrasi yang meniscayakan kebebasan berpendapat. "Betapa mahalnya demokrasi dan kebebasan berbicara. Ini harus kita jaga," tandasnya. [mdr]

Monday, December 5, 2011

Kuba Pasca-Fidel Castro

Kuba Pasca-Fidel Castro

Oleh Martin H Hutabarat
Kuba adalah negara kepulauan terbesar di kawasan Karibia, yang berpenduduk 11,5 juta orang. Sejak Fidel Castro berkuasa pada 1959, Kuba berubah menjadi negara sosialisme-komunisme. Dengan perubahan itu, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kehidupan sosial warganya didasarkan pada ideologi sosialisme dan komunisme. Ketika tiga tahun lalu Fidel Castro jatuh sakit dan diganti adiknya, Raul Castro, sebagai presiden, orang mulai bertanya bagaimana nasib Kuba ke depan tanpa Fidel Castro? Apakah sistem sosialisme-komunisme Kuba ini masih dapat bertahan dan terus berlanjut ataukah akan mengikuti langkah balik negara-negara komunis sekarang ini?
Dalam perekonomian yang berdasar pada sosialis-komunis ini, seluruh aspek kegiatan ekonomi dikendalikan negara secara terpusat. Tidak ada perusahaan swasta dan asing yang diperbolehkan hidup. Negara atau pemerintahlah yang menentukan segala-galanya. Seluruh badan usaha adalah milik negara. Perusahaan asing hanya bisa masuk melalui seleksi yang ketat sebatas joint venture dengan negara. Itu pun jumlah dan bidang usahanya dibatasi. 
Dalam sistem sosialis-komunis ini, pemerintah Kuba menerapkan sistem penjatahan kepada rakyatnya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang jumlahnya sangat terbatas, antara lain beras, minyak goreng, gula, dan sabun. Pelaksanaan distribusi bahan pokok itu diawasi secara ketat melalui penjatahan kupon. Toko atau warung yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari sulit ditemukan. 
Di bidang sosial, negara juga memberikan pendidikan, kesehatan, dan perumahan secara gratis pada rakyat. Kalaupun ada sebagian kecil rakyatnya yang dipungut bayaran, jumlahnya dinilai sangat murah. 
Di bidang pendidikan, setiap anak usia sekolah diwajibkan sekolah atau memperoleh pendidikan tanpa biaya. Kuba sejak 2003 telah melaksanakan program seorang guru untuk tiap 20 murid SD dan 15 murid sekolah menengah. Akibatnya jumlah sarjana di Kuba sangat berlimpah, tak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia.
Di bidang kesehatan, terdapat 74.880 dokter, lulusan dari sekolah-sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM) di Havana. Sebagian di antaranya adalah dokter-dokter spesialis untuk melayani 11.242.648 orang penduduk. Obat-obat yang diperlukan bagi pemeliharaan warganya lebih 90% diproduksi negara, termasuk obat untuk penyakit kanker dan demam berdarah. 

Di bidang politik dan pemerintahan, sistem satu partai yang dipraktikkan Kuba secara konsisten sejak 51 tahun yang lalu membuat media massa dan pers dikuasai, dikelola, dan dikontrol negara secara ketat. Demo atau semacam pernyataan pendapat dari rakyat, yang umum kita jumpai setiap hari di Indonesia, di sana merupakan hal tabu yang hanya dapat dilihat rakyatnya terjadi di negara-negara lain melalui televisi asing secara sembunyi-sembunyi. Peranan pers dan media massa di Kuba secara efektif dilakukan pemerintah untuk menyebarluaskan propaganda dan indoktrinasi kepada rakyat mereka guna mempertahankan legitimasi mereka.
Negara-negara tetangga Kuba di Karibia seperti Bahama, Haiti, Jamaika, dan Dominika sudah mulai khawatir apabila Kuba mengalami perubahan, dampaknya diyakini akan luas pada kehidupan pariwisita di negara mereka sebab sebagian besar turis asing akan beralih ke Kuba karena alam dan pantainya yang indah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pengusaha-pengusaha di Miami, Amerika Serikat, yang sebagian besar di antaranya adalah penduduk asal Kuba sudah bersiap-siap untuk masuk dan berinvestasi di Kuba, menunggu kapan saatnya Kuba berubah. 
Perubahan yang diperkirakan banyak orang akan terjadi dalam waktu dekat di Kuba rasanya tidaklah mengada-ada lagi. Pemerintah Kuba pun tampaknya sudah menyadari itu. Kuba di bawah pemerintahan Presiden Raul Castro secara perlahan mulai melakukan langkah reformis sejak dua tahun terakhir ini, antara lain terlihat dari kesediaan Kuba menandatangani dua instrumen HAM internasional, yaitu Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap penegakan HAM. Sebagai konsekuensi perubahan itu, atas dorongan Vatikan dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, pemerintah Kuba telah membuka peluang bagi penduduk untuk menyampaikan keluhan, yang dimanfaatkan warganya untuk mengadukan nasib keluarga mereka yang masih dalam tahanan politik. Begitu juga kehidupan beragama tidak lagi diawasi secara ketat sehingga kebebasan beragama dan beribadah semakin marak sekarang.
Penerimaan yang begitu bersahabat itu tidaklah mengherankan sebab Indonesia adalah negara yang sangat dihormati pemerintah Kuba. Soekarno adalah kepala negara pertama yang mengunjungi negara itu sesudah Fidel Castro berkuasa pada 1959. Bagi Indonesia, Kuba dan rakyatnya adalah sahabat sejati. Sebagai sahabat dekat, alangkah terpujinya apabila Indonesia membagi pengalaman dalam proses reformasi 12 tahun lalu, guna membantu negara tersebut tetap kukuh menghadapi arus perubahan sambil tetap dapat melaksanakan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang murah kepada rakyat. 
Pelaksanaan otonomi daerah yang kita praktikkan sejak reformasi tentu dapat menjadi pelajaran bagi Kuba dalam mengapresiasi perubahan. Begitu juga sistem demokrasi dan kepartaian yang begitu subur perkembangannya di negara kita dalam 10 tahun terakhir, sesudah Indonesia mengubah undang-undang dasar, dapat menjadi perbandingan bagi Kuba ke depan dalam menata kepentingan nasional. (Sumber: Media Indonesia, 20 Oktober 2010)
Sosialis–komunis
Sistem yang dikembangkan secara ketat oleh pemerintah Kuba selama 51 tahun ini menarik untuk disimak. Di bidang politik, satu-satunya partai politik yang boleh hidup hanya partai komunis. Partai lain dilarang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan. Partai Komunis Kuba (Partido Comunista de Cuba/PCC) adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara dan bersama dengan Dewan Negara, PCC melaksanakan kekuasaan pemerintahan sehari-sehari. Sekretaris Pertama Partai Komunis Kuba sampai saat ini masih dipegang Fidel Castro dan jabatan sekretaris kedua diduduki adiknya, Raul Castro.
Menyongsong perubahan
Sewaktu pimpinan MPR RI diundang mengunjungi Kuba dan bertemu dengan pimpinan PCC, parlemen, dan pemerintahan di sana dua minggu lalu, pertanyaan terbesar di benak kami adalah berapa lama lagi sistem sosialis-komunis Kuba ini bisa bertahan? Beberapa orang yang sempat ditanya di Hotel Melia Coniba dan Hotel Nacional di Havana hanya geleng-geleng kepala sambil angkat bahu, tidak terlihat antusias membicarakannya. Duta Besar RI untuk Kuba Banua Radja Manik memprediksi apabila ‘Pak Jenggot’ (julukan akrab dari rakyat di sana kepada Fidel Castro) sudah ‘check out’ karena usianya, Kuba tidak lama lagi pasti akan mengalami perubahan.
Persahabatan RI-Kuba
Kunjungan tingkat tinggi pimpinan MPR/ketua fraksi yang berjumlah lima orang disambut hangat dan terhormat oleh pimpinan pemerintahan, parlemen dan Partai Komunis Kuba. Pejabat-pejabat terpenting di Kuba mengacarakan untuk bertemu dengan delegasi parlemen Indonesia karena dirasakan pertemuan antara pemerintah dan parlemen kedua negara sangat jarang terjadi, dan Kuba sangat mengharapkan dukungan pemerintah Indonesia dalam melawan embargo ekonomi Amerika.
Tentang penulis:
Martin H Hutabarat, Ketua Fraksi Gerindra MPR

Cegah Intrik Politik, DPR Harusnya Tak Pilih Pimpinan dan Ketua KPK

Senin, 05/12/2011 06:24 WIB 

Cegah Intrik Politik, DPR Harusnya Tak Pilih Pimpinan dan Ketua KPK
Hery Winarno - detikNews



Jakarta - Komisi III DPR saat ini sedang membahas revisi atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Pasal mengenai pemilihan Pimpinan dan Ketua KPK diusulkan akan dirubah.

DPR diusulkan tidak lagi menjadi lembaga yang memilih pimpinan maupun ketua KPK seperti saat ini.

"Saya akan usulkan revisi kewenangan itu, supaya pemilihan pimpinan KPK tidak diwarnai intrik politik dan menimbulkan kecurigaan di masyarakat," ujar anggota Komisi III Martin Hutabarat kepada detikcom, Minggu (4/12/2011).

Menurut anggota fraksi Gerindra ini, DPR sebagai lembaga politik harusnya dijauhkan dari pemilihan pimpinan KPK. Hal ini untuk mengurangi politisasi di tubuh KPK.

"Seharusnya yang melakukan pemilihan itu adalah lembaga independen yang berisi tokoh-tokoh masyarakat. Sehingga DPR tidak punya ruang untuk melakukan politisasi," terangnya.

Lalu dimana peran DPR dalam pemilihan pimpinan KPK? "DPR hanya menyetujui atau tidak nama-nama yang sudah dipilih oleh tim independen itu. Bila tidak setuju, tim melakukan pemilihan lagi," terangnya.

Namun maukah DPR memangkas sendiri kewenangan yang dimilikinya? "Ya kita lihat nanti seperti apan" imbuhnya.

Apakah semua anggota komisi hukum akan sepakat dengan usulan Martin? Kita tunggu saja.

(her/her)